Indosultra.Com,Kendari – Kemenkumham Sulawesi Tenggara melakukan pengawasan terhadap data pemilik manfaat dan pencatatan pemilik manfaat Beneficial Ownership (BO) korporasi yang ada di daerah tersebut guna mencegah praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sultra Silvester Sili Laba, mengatakan pihaknya terus melakukan pengawasan data pemilik manfaat dan pencatatan pemilik manfaat korporasi dalam mencegah TPPU dan pendanaan terorisme melalui notaris sebagai bagian dari Kementerian Hukum dan HAM.
“Ini semua dalam proses pengawasan, pengawasan kami lakukan lewat notaris karena apapun ini kan notaris yang melakukan. Setiap saat saya tekankan hati-hati jangan sampai ada masalah pendanaan untuk teroris, tetapi selama ini kan tidak ada,” katanya.
Silvester menjelaskan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) sebagai instansi yang berwenang menerima informasi terkait pemilik manfaat dari suatu korporasi yang dilaksanakan oleh notaris sebagai wujud dalam menjalankan amanat Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT).
Dia menuturkan, pihaknya sebagai Kanwil Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ikut berperan aktif dalam memberikan penguatan dalam pelaporan pemilik manfaat atau benficial ownership (BO) guna mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Peran kantor wilayah juga dilakukan melalui pembinaan terhadap notaris sebagai profesi yang terkait langsung dengan masyarakat sebagai pengguna jasanya dalam membuat badan hukum dan korporasi,” tutur dia.
Lebih lanjut Silvester mangatakan pihaknya setiap tahun melakukan kegiatan baik secara preventif melalui sosialisasi dan diseminasi juga represif melalui pemeriksaan protokol Notaris.
“Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris sebagai bagian dari Kanwil kemenkumham mengedukasi notaris terkait pentingnya pelaporan benficial ownership dalam mencegah praktik pencucian uang,” jelas dia.
Silvester menyebut dalam rangka efektivitas penerapan transparansi informasi pemilik manfaat dari korporasi, Kementerian Hukum dan HAM sebagai company registry bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyusun dan menetapkan dua peraturan.
Dua peraturan pelaksana dari Perpres Nomor 13 Tahun 2018, pertama Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
Kedua, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2019 tentang Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
Melalui regulasi tersebut, pemerintah mendorong transparansi pemilik manfaat pada seluruh korporasi di Indonesia dengan mewajibkan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dan pengungkapan Beneficial Ownership dari suatu korporasi yang bertujuan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Sementara, bagi korporasi yang bergerak di bidang industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan dan lain- lain, informasi BO menjadi penting guna mengetahui aktor intelektual atau pihak dibelakang korporasi yang bertanggung jawab atas serangkaian kerusakan hutan dan lingkungan hidup, hilangnya pendapatan negara dari sektor perpajakan, serta upaya penyembunyian dan penyamaran hasil tindak pidana.
“Jadi pengawasan itu bekerja sama dengan PPATK termasuk juga dengan PTSP yang ada di Pemda dalam rangka mencegah terorisme dan tindak pidana pencucian uang. Jangan sampai korporasi beralih ke pendanaan terorisme termasuk pencucian uang,” ucap Silvester.
Silvester menyebut berdasarkan data Direktorat Jenderal AHU Kemenkunham RI, presentase pelaporan benficial ownership untuk wilayah Sulawesi Tenggara per Januari 2023 di antaranya PT sebanyak 9.081 dengan persentase 45,5 persen; yayasan 1.702 (26,15); perkumpulan 273 (27,11); CV 6.598 (53,14); Firma 49 (48,98); PTP 66 (28,79); koperasi 4.650 (5,03; korporasi 22.419 (37,61 persen).
“Ada data kerahasiaan yang namanya rahasia negara itu ada. Misalnya notaris mau diperiksa oleh aparat penegak hukum, lalu mereka minta data, nah itu tidak semua dikasih datanya karena ada undang-undang masalah keperdataan di mana ada data negara yang tidak bisa diberikan,” kata Silvester.(b)
Laporan: Krismawan
Leave a Reply