6 Warga Penolak Tambang di Wawonii Diduga Kembali Dikriminalisasi Dari Oknum Polda Sultra

Indosultra.com, Kendari – Enam warga penolak tambang di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), diduga mendapat perlakukan kriminalisasi dari Polda Sulawesi Tenggara.

Keenamnya orang tersebut dipanggil penyidik Ditreskrimum Polda Sultra untuk diperiksa atas tuduhan melakukan pengrusakan. Enam warga ini dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi kepada penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Umum Polda Sultra.

Ke-enam warga penolak tambang ini yakni Nasrun, Yusman, Alimin, Aco, Datna, dan La Boba.

Kasus dugaan pengrusakan ini dilaporkan oleh warga bernama La Tende, pada 1 Februari 2024. Dua hari berikutnya, kasus ini langsung naik ke tahap penyidikan berdasarkan nomor: SP.Sidik/219/II/RES.1.10/2025/Ditreskrimum.

Wakil Ketua DPRD Konawe Kepulauan, Sahidin mengecam 6 warga yang dikirminalisasi Polda Sultra. Menurutnya, tindakan polisi ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses hukum.

“Polisi hanya tajam ke rakyat kecil. Tetapi sebaliknya polisi tumpul ke penambang ilegal yang bertahun-tahun melakukan perbuatan pidana, bahkan menutup mata,” kecam Sahidin.

Menurutnya, pengrusakan yang dilakukan warga ini diawali aksi penolakan masyarakat terhadap masuknya karyawan perusahaan tambang PT Bumi Konawe Mining (BKM) di Desa Sinar Mosolo.

Aksi penolakan ini berujung pada pengusiran hingga perusakan rumah warga yang menjadi tempat menginap karyawan PT BKM.

Aksi dugaan pengrusakan ini juga bentuk kekesalan warga Pulau Wawonii terhadap penegak hukum yang tutup mata atas penambangan ilegal PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

“Tapi ini adalah secuil persoalan hukum dibandingkan dengan segunung kasus pembangkangan hukum, korupsi, pidana kehutanan dan lingkungan yang dilakukan PT GKP dan terus dibiarkan bertahun-tahun,” tegas Sahidin.

Sahidin mengatakan, sudah tidak terhitung laporan dan demonstrasi warga ke aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun Gakkum KLHK terkait aktivitas ilegal PT GKP di Pulau Wawonii.

Namun, tak ada langkah penegakan hukum yang nyata, penambangan ilegal terus beroperasi di Pulau Wawonii. Bahkan, PT BKM sudah melakukan eksplorasi dan telah mencemari lingkungan di Desa Sinar Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara.

Ibaratnya, kata kader Partai besutan Presiden Prabowo Subianto ini, tindakan kepolisian menyiratkan sebuah pepatah, gajah di pelupuk mata tidak dilihat, tapi semut di puncak gunung kelihatan.

Sahidin pun mempertanyakan kinerja kepolisian yang lebih condong membela perusahaan tambang, bahkan seolah-olah menjadi beking penambangan ilegal.

“Polisi ini kan digaji dari uang rakyat, seharusnya mengayomi dan melindungi hak-hak rakyat atas pelanggaran hukum yang dilaporkan, bukan justru sebaliknya. Justru saya bertanya, apakah polisi juga digaji dari aktivitas tambang ilegal ini,” ucap Sahidin.

*Tambang Ilegal di Pulau Wawonii*

Aktivitas pertambangan nikel PT GKP di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara dianggap sebagai perbuatan ilegal sehingga terindikasi korupsi.

Sebab, PT GKP tak punya legitimasi hukum untuk melakukan aktivitas operasi pertambangan.

Pertama, pada 7 Oktober 2024, majelis hakim Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga Wawonii, yakni membatalkan dan mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP seluas 707,10 hektar.

Selain itu, warga juga memenangi dua gugatan uji materi Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 yang mengalokasikan ruang untuk aktivitas pertambangan.

Pertama perkara nomor 57 P/HUM/2022 dikabulkan MA pada 22 Desember 2022. Kedua, perkara nomor 14 P/HUM/2023 diputus kabul pada 11 Juli 2023.

“Dengan dikabulkannya permohonan uji materi warga oleh MA, alokasi ruang tambang yang diakomodir oleh Perda di seluruh kawasan Wawonii menjadi batal seluruhnya,” kata kuasa hukum warga Wawonii, Ady Anugrah Pratama.

Tak sampai di situ, PT GKP mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), agar dapat menambang di Wawonii pun gagal.

Dalam uji materi tersebut, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menegaskan pulau kecil bukan untuk pertambangan mineral. Pada 21 Maret 2024, Majelis Hakim MK memutus perkara tersebut dengan amar Tolak.

Pulau Wawonii yang memiliki luas 715 km2 merupakan pulau kecil berdasarkan ketentuan UU Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ketentuan perundang-undangan menyatakan wilayah dengan luas kurang dari 2 ribu km2 merupakan pulau kecil. Selain itu, peraturan perundang-undangan juga menegaskan kegiatan pertambangan tidak dapat dilakukan di dalam wilayah pulau kecil.

“Dengan adanya 3 putusan MA dan 1 putusan MK yang saling menguatkan tersebut, GKP dan perusahaan Harita lainnya seperti Bumi Konawe Mining (BKM) yang masih beroperasi di pulau kecil Wawonii, telah kehilangan alas legal untuk beroperasi,” tegas Ady.

Menurut Ady, penolakan dari warga dengan berulang kali melakukan pemblokiran hingga bertarung di ruang-ruang pengadilan menunjukkan perusahaan telah kehilangan alas sosial untuk beroperasi.

Namun, meskipun telah kehilangan seluruh legitimasi hukum dan sosial untuk melanjutkan operasi, GKP tetap terus melanjutkan aktivitas penambangan.

“Ini menunjukkan anak usaha Harita tersebut membangkang dari hukum yang berlaku di NKRI sekaligus melakukan praktik pertambangan ilegal,” ungkap Ady Anugerah.

Aktivitas PT GKP pun berdimensi pidana kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan dan atau UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.

Ady bilang, tindakan itu juga melanggar UU Tindak Pidana Korupsi karena telah mengambil sumber daya nikel di kawasan hutan pulau Wawonii tanpa izin yang menyebabkan kerusakan lingkungan, yang juga turut menjadi kerugian negara.

Aktivitas penambangan tersebut dapat dipantau melalui citra satelit. Menurut perhitungan, telah terjadi bukaan lahan seluas 501,7 hektar sepanjang 2024 hingga Februari 2025, spesifik di daerah Dompo-Dompo Jaya yang menjadi area klaim konsesi GKP.

Ady pun menegaskan, putusan Mahkamah Agung yang membatalkan IPPKH PT GKP itu mengikat semua pihak tanpa terkecuali meskipun anak usaha Harita Group ini mengajukan peninjauan kembali (PK).

Ady bilang, upaya PK yang diajukan PT GKP bukan merupakan landasan berkekuatan hukum tetap yang dapat menghalangi terjadinya proses eksekusi pencabutan IPPKH sesuai putusan Mahkamah Agung.

Hal itu berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985. Bahwa upaya PK tak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

“Harusnya pemerintah lewat instansi terkait dan PT GKP menghormati dan mengikuti putusan tersebut. Demi hukum dan keadilan, PT GKP harus berhenti operasi di Pulau Wawonii dan mematuhi putusan tersebut,” tandas Ady Anugrah Pratama.

Laporan: Krismawan

Koran indosultraKoran indosultra
error: Hak cipta dilindungi undang-undang !!